UNS – Program Dialog Sehat oleh Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta digelar dalam rangka memperingati Hari Pendengaran Sedunia 2025. Topik “Bising yang Kamu Anggap Biasa Ternyata Merusak Telinga” menjadi isu yang dibahas. Acara ini menghadirkan Dokter Spesialis THT-KL RS UNS, Rini Kartika Dewi, dr., Sp.THT-KL, sebagai narasumber dan dipandu oleh Dokter Umum RS UNS, Hasraprilliana Hersya, dr. Masyarakat juga dapat menyaksikan program ini di Kanal Youtube Rumah Sakit UNS.
Gangguan pendengaran akibat bising menjadi isu kesehatan yang kerap diabaikan oleh masyarakat. Dokter Rini menjelaskan bahwa bising sendiri merupakan suara yang frekuensinya berada di atas 85 desibel. Kondisi tersebut setara dengan suara truk berukuran sedang. Pajanan bising secara terus-menerus dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang bersifat permanen.
Menurut dokter Rini, terdapat dua faktor utama penyebab gangguan pendengaran akibat bising, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi riwayat penyakit seperti hipertensi dan diabetes melitus yang dapat mempengaruhi kondisi pembuluh darah di telinga. Selain itu, pengobatan tertentu yang bersifat ototoksik juga berpotensi merusak pendengaran secara permanen. Dari segi anatomi, panjang liang telinga seseorang turut berpengaruh dalam menerima paparan bising. Sementara itu, faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan, seperti pekerja pabrik, bengkel, konstruksi, hingga pemusik yang terpapar bising dalam jangka waktu lama.
Gangguan pendengaran akibat bising bersifat sensori neural, yakni kerusakan yang terjadi pada saraf pendengaran. Salah satu gejala awalnya adalah tinnitus atau telinga berdenging. Beberapa penderita gangguan pendengaran juga mengalami gangguan keseimbangan, seperti sensasi pusing berputar saat bangun dari posisi duduk. Dokter Rini menegaskan pentingnya deteksi dini melalui pemeriksaan audiometri dan segera berkonsultasi jika mengalami gejala-gejala tersebut.
“Telinga berdenging menjadi lampu kuning yang kerap muncul sebelum terjadi gangguan pendengaran permanen,” jelas dokter Rini.
Dalam dialog ini, dokter Rini menyoroti kebiasaan penggunaan perangkat audio seperti earphone dan True Wireless Stereo (TWS) dalam waktu lama. Pajanan suara berlebih dalam durasi panjang dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, meskipun gejalanya baru muncul setelah 10-15 tahun. Oleh karena itu, ia merekomendasikan metode 60-60, yakni penggunaan perangkat audio maksimal 60 menit per hari dengan volume tidak lebih dari 60% dari kapasitas maksimal.
“Getaran yang berlebih, keras, dan lama durasinya itu merusak rambut-rambut di dalam rumah siput. Desibel yang semakin tinggi dan berlangsung bertahun-tahun itu juga merusak sinaps pada saraf pendengaran. Ini sifatnya permanen,” ujar dokter Rini.
Dalam bekerja maupun beraktivitas, masyarakat diimbau mengikuti Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Kebisingan. Untuk melindungi pendengaran, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti earbuds yang dapat meredam suara hingga 20-30 desibel atau earmuff dengan peredaman 40-60 desibel sangat dianjurkan.
Selain itu, penyuluhan dan skrining pendengaran secara rutin juga menjadi langkah penting dalam pencegahan. Pekerja dengan paparan bising dianjurkan menjalani pemeriksaan Audiometri dan Otoacoustic Emissions (OAE). Setidaknya pemeriksaan tersebut dilakukan satu tahun sekali untuk mendeteksi penurunan ambang dengar lebih dini.
“Pada pekerja yang terpapar bising, pemeriksaan audiometri dan OAE sangat penting untuk mengetahui kondisi rumah siput dan mendeteksi gangguan sejak dini,” tambah dokter Rini.
Sedangkan bagi masyarakat yang gemar menghadiri konser musik, dokter Rini menyarankan penggunaan earmuff untuk perlindungan optimal. Hal ini karena intensitas kebisingan konser musik dapat mencapai 120-130 desibel.
“Menggunakan earmuff jauh lebih baik dibandingkan earbuds, karena daya redamnya lebih tinggi,” jelasnya.
Bagi mereka yang telah mengalami gangguan pendengaran berat akibat bising, terdapat tiga metode terapi yang dapat dilakukan, yakni psikoterapi, penggunaan alat bantu dengar, dan terapi wicara. Psikoterapi bertujuan memberikan penguatan mental. Sementara alat bantu dengar berfungsi untuk mencegah sejumlah dampak fisik seperti kesulitan mendengar dan dampak sosial seperti stres dan isolasi diri.
“Dengan deteksi dini, pencegahan, dan penanganan yang tepat, kita dapat menjaga kesehatan pendengaran agar tetap optimal dalam menjalani aktivitas sehari-hari,” tutup dokter Rini. Humas UNS.