Dialog Sehat RS UNS: “Self Harm, Apakah Suatu Tanda Gangguan Kepribadian Ambang?”

Dialog Sehat RS UNS: “Self Harm, Apakah Suatu Tanda Gangguan Kepribadian Ambang?”


RS UNS – Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret (RS UNS) kembali menghadirkan program Dialog Sehat yang menjadi salah satu wadah edukasi publik dalam bidang kesehatan. Pada kesempatan kali ini, tema yang diangkat adalah “Self Harm: Apakah Suatu Tanda Gangguan Kepribadian Ambang?” yang menghadirkan dr. Lisetiawati, Sp.KJ, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Psikiatri) RS UNS sebagai narasumber, serta dipandu oleh dr. Adindha Sekar Ayu, PPDS Psikiatri FK UNS.

Self Harm: Fenomena yang Perlu Dipahami

Self harm atau perilaku menyakiti diri sendiri adalah kondisi di mana seseorang secara sadar melukai tubuhnya, biasanya tanpa adanya niatan langsung untuk mengakhiri hidup. Praktik ini sering dilakukan sebagai bentuk pelampiasan emosi, rasa sakit psikis, ataupun upaya untuk mengendalikan perasaan yang dianggap tidak tertahankan.

“Self harm disebut juga dengan self injury atau kita bisa kenal dengan NSSI atau Nonsensadle Self Injury merupakan tindakan melukasi diri sendiri dengan sengaja tanpa niat untuk bunuh diri atau mengakhiri hidup ya. Ketika self harm yang dilakukan bisa dengan menyayat kulit atau menggaruk-garuk sampai luka, menarik-narik rambut, memukul, menggigit, atau tindakan lain yang memang berfungsi untuk merusak jaringan tubuh. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk mengolah emosi atau stres, tapi bukannya untuk usaha untuk bunuh diri.” tutur dr. Lisetiawati.

 

 

Perbedaan Self Harm dan Percobaan Bunuh Diri

Dalam paparannya, dr. Lisetiawati menjelaskan bahwa self harm atau non-suicidal self injury (NSSI) adalah tindakan melukai diri sendiri secara sadar dan sengaja tanpa niat mengakhiri hidup. Perilaku ini biasanya dilakukan untuk meredakan emosi intens, mengatasi rasa hampa, atau sebagai bentuk komunikasi nonverbal untuk meminta pertolongan. Dalam klasifikasi DSM-5, NSSI termasuk kondisi lain yang perlu mendapat perhatian klinis karena berisiko berkembang menjadi percobaan bunuh diri di masa depan. Berbeda dengan NSSI, percobaan bunuh diri memiliki tujuan utama untuk mengakhiri hidup, meskipun sering kali tidak berhasil.

”Kalau misalkan untuk self harm adalah keinginannya untuk meregulasi emosi, kemudian juga mungkin untuk memindahkan perasaan sakitnya kepada sakit fisiknya begitu. Kalau misalkan percobaan bunuh diri, tentu motivasi dan tujuannya jelas yaitu untuk mengakhiri hidup ataupun mengakhiri penderitaan di kehidupan ini dengan cara kematian.” pungkas dr. Ayu.

Dalam paparannya, dr. Lisetiawati menjelaskan bahwa fenomena ini semakin banyak ditemui, terutama pada kelompok usia remaja dan dewasa muda. “Self harm bukan sekadar perilaku biasa. Ia merupakan tanda adanya kesulitan dalam mengelola emosi, trauma masa lalu, atau adanya gangguan psikologis yang lebih serius, seperti Borderline Personality Disorder atau Gangguan Kepribadian Ambang,” ujar dr. Lisetiawati.

 

Alasan Melakukan Self Harm

dr. Lisetiawati menjelaskan bahwa ada berbagai macam alasan mengapa seseorang melakukan self harm. Pertama, bisa mengurangi emosi negatif misalnya untuk mengatasi perasaan sedih, cemas atau kesepian. Dengan dia melakukan self harm merupakan upaya untuk menghukum diri sendiri sebagai bentuk hukuman terhadap diri sendiri, lalu juga mencari sensasi fisik. Untuk mendapatkan sensasi fisik tertentu dia melakukan self harm. Lalu bisa juga dengan tujuan mengalihkan pikiran, untuk mengalihkan perhatian dan pikiran atau emosi yang negatif.

“Jadi dengan self harm itu sendiri biasanya orang-orang tersebut kesulitan dalam mengelola emosi dan copingnya yang tidak adaptif. Mungkin ada juga gangguan kesehatan mental dan internal lainnya yang menyertai, sehingga penderita melakukan self harm. Selain itu juga ada riwayat-riwayat trauma di masa kecil juga menyebabkan seseorang pada akhirnya melakukan self harm.” tutur dr. Lisetiawati.

“Jadi, bukan hanya semata-mata aku punya masalah nih, kemudian aku menyayat tangan, menjambak rambut aku. Ternyata bukan hanya sekedar itu, tapi banyak sekali faktor-faktor lain yang menyertai dan mungkin faktor ini sudah ada sejak dini.” tambah dr. Ayu.

 

Apa itu BPD? Bagaimana Gejalanya?

dr. Lisetiawati menjelaskan bahwa BPD atau Borderline Personality Disorder atau yang kita kenal dengan gangguan kepribadian ambang yang merupakan gangguan kepribadian yang secara emosional tidak stabil yang dapat mempengaruhi cara seseorang dalam berpikir. Dalam DSM5 dikatakan bahwa BPD atau gangguan kepribadian ambang erupakan gangguan jiwa yang ditandai oleh ketidakstabilan dalam gambaran diri, hubungan interpersonal, dan suasana hati atau perasaan disertai adanya impulsivitas yang tinggi.

“Ya menurut DSM ini gejalanya yang pertama adalah adanya upaya ekstrem agar dirinya itu tidak ditelantarkan secara nyata. Jadi sangat takut jika orang yang dekat meninggalkan atau menolak walaupun hanya sebentar. Lalu gejala yang kedua adalah adanya hubungan interpersonalnya yang tidak stabil. Hubungan yang intens tapi tidak stabil. Kadang merasa orang lain sangat baik lalu tiba-tiba merasa orang itu sangat buruk. Lalu adanya gambaran diri yang tidak jelas, jadi sulit punya rasa jati diri yang stabil ya. Bisa sering berubah-ubah cita-citanya, gaya hidup atau cara melihat dirinya. Lalu gejala yang selanjutnya ada perilaku impulsif, tindakan spontan yang berisiko tanpa berpikir panjang. Misalnya kayak makan berlebihan, juga belanja berlebihan, seks yang berisiko, lalu menyetir ugal-ugalan atau bisa masuk ke dalam penyalahgunaan zat. Lalu gejala yang selanjutnya ada percobaan bunuh diri, adanya ketidakstabilan afek lalu perubahan mood yang cepat dan intens. Jadi bisa berubah sangat cepat ya dari senang, marah, sedih, cemas, lalu kembali lagi. Lalu adanya rasa hampa yang kronis, sering merasa kosong, bosan, merasa tidak ada apa-apa dalam hidup, ada rasa marah berlebihan dan mengendalikan amarahnya. Lalu adanya perasaan curiga atau terlepas dari kenyataan yang sementara. Itu semua merupakan gejala BPD atau Borderline Personality Disorder berdasarkan DSM.” tutur dr. Lisetiawati.

 

Pengobatan BPD

dr. Lisetiawati menjelaskan bahwa penanganan pasien BPD yang paling utama adalah psikoterapi dulu untuk lini pertamanya karena inti masalah BPD ini adalah regulasi emosi, impulsivitas dan relasi interpersonal. Psikoterapi yang kita bisa pakai adalah yang pertama psikoterapi psikodinamik yang berupaya untuk mengetahui bagaimana proses-proses sadar terbentuk dari pengalaman seseorang di masa kanak awal lalu mempengaruhi perkembangan kepribadiannya dan kemudian munculnya psikopatologi di masa dewasa sehingga pasien akhirnya mendapatkan pemahaman diri yang lebih baik. Dengan psikoterapi psikodinamik ini dapat memperbaiki kapasitas mentalisasi, kohesi self-nya, pola kelekatannya, serta relasi objeknya sehingga pasien akan terbantu untuk lebih memahami dirinya, mengenali dan mengelola afeknya, lalu memiliki kapasitas mental yang lebih baik dan memiliki integrasi akan identitas diri yang lebih baik.

Selain itu, juga ada yang dinamakan DBT yang merupakan modifikasi dari CBT dimana tujuannya adalah untuk memperbaiki perilaku-perilaku yang adaptif dan meningkatkan keterampilan dalam bagaimana meregulasi emosi, toleransi terhadap stres, dan mempertahankan efektivitas hubungan interpersonal. Ada juga SFT, Schema-Focused Therapy, dimana mengintegritasikan pendekatan psikodinamik. Ada juga psiko kognitif perilaku, terapi yang berfokus emosi, dan teori kelekatan sehingga dapat mengubah pola pikir disfungsional sejak masa kecil. Pemberian farmakoterapi membantu pasien mengatasi gejala pada fase akut. Sedangkan kalau membantu pasien memahami kondisi internal yang menyebabkan di dalam dirinya dan mampu mengelolanya sehingga dapat berfungsi lebih baik.

“Ketika psikoterapi sudah dilakukan dapat diberikan farmakoterapi. Farmakoterapi ini sebenarnya bukan utama ya, hanya pendukung. Jadi pemberian farmakoterapi pada gangguan keperibadian ambang lebih bersifat simptomatik saja dan belum berdasarkan indikasi. Tadi sudah dijelaskan hanya berlaku pada fase akut. Yang bisa diberikan farmakoterapinya yaitu antidepresan yang bisa diberikan untuk instabilitas afeknya, impulsivitas, gejolak amarahnya, memperbaiki efek depresinya. Lalu lini kedua ada antisikotik dosis rendah yang ditujukan bila ada keinginan bunuh diri, adanya agresi yang impulsif, adanya gejolak amarah, distorsi kognitif yang berat. Lalu lini yang ketiga dengan mood stabilizer diberikan bila ada impulsivitas atau emosi yang sangat labil. Lalu yang terakhir ada palproat atau karbemzepin yang ditambah dengan antisikotik atipikal yang ditujukan untuk gejolak amarahnya, instabilitas, afek dan impulsivitas. Sebenarnya kombinasi antara psikoterapi dan farmakoterapi memberikan hasil terapi yang lebih baik dan juga bisa bertahan lama.” tutur dr. Lisetiawati.

Humas RS UNS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *