Dalam dialog tersebut, Dr. Lisetiawati menjelaskan bahwa gangguan bipolar merupakan kondisi mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem. Pada episode manik, penderita merasakan kebahagiaan berlebihan, peningkatan energi, dan perilaku impulsif. Sebaliknya, pada episode depresi, penderita merasa sangat sedih, kehilangan minat, dan merasa putus asa. Perubahan suasana hati yang ekstrem ini dapat mengganggu kualitas hidup penderita.
Menurut Dr. Lisetiawati, gangguan bipolar bisa digambarkan seperti dua kutub yang sangat bertolak belakang—di satu sisi kebahagiaan yang luar biasa, dan di sisi lainnya kesedihan yang mendalam. Hal ini membuat gangguan bipolar berbeda dari perubahan suasana hati biasa.
Mengenai prevalensi gangguan bipolar, Dr. Lisetiawati menyebutkan bahwa kondisi ini cukup umum, terutama pada remaja. Faktor-faktor risiko gangguan bipolar mencakup usia, genetika, dan lingkungan. Usia remaja merupakan periode yang sangat rentan karena banyak perubahan biologis, kognitif, dan emosional yang terjadi. Selain itu, faktor genetik juga berperan besar. Jika salah satu orang tua menderita bipolar, risiko anak untuk mengalami gangguan serupa mencapai 15-30%. Jika kedua orang tua menderita bipolar, risiko tersebut bisa meningkat hingga 50-75%.
“Remaja lebih rentan karena masa transisi ini penuh dengan perubahan besar dalam tubuh dan pikiran mereka,” ujar Dr. Lisetiawati.
Selain itu, mereka yang memiliki riwayat trauma masa kecil lebih berisiko mengalami gangguan bipolar. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang mengalami trauma masa kecil, seperti kekerasan fisik, emosional, atau seksual, memiliki kemungkinan 2,63 kali lebih tinggi untuk mengalami gangguan bipolar dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki trauma masa kecil. Terpapar kekerasan dalam rumah tangga atau perundungan juga bisa meningkatkan risiko tersebut. Dr. Lisetiawati menekankan bahwa kekerasan emosional adalah jenis trauma yang paling sering berkontribusi pada munculnya gangguan bipolar.
Trauma masa kecil mempengaruhi perkembangan otak, terutama pada area yang berkaitan dengan pengaturan emosi dan respons terhadap stres, seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan pada bagian-bagian ini dapat meningkatkan sensitivitas terhadap stres dan mengganggu kemampuan individu untuk mengelola emosi, sehingga meningkatkan kerentanannya terhadap gangguan bipolar.
Dr. Lisetiawati mengingatkan masyarakat untuk mengenali tanda-tanda gangguan bipolar. Pada episode manik, gejalanya meliputi perasaan gembira yang berlebihan, penurunan kebutuhan tidur, peningkatan energi, perilaku impulsif seperti menghabiskan uang secara berlebihan, serta pengambilan keputusan yang mendadak. Pada episode manik yang lebih parah, gejala psikotik, seperti waham kebesaran dan halusinasi, bisa muncul.
Sementara itu, pada episode depresi, penderita merasa sedih yang berkepanjangan, kehilangan minat dalam aktivitas yang sebelumnya disukai, merasa sangat lelah, atau merasa tidak berharga. Gejala lainnya termasuk kesulitan berkonsentrasi, perubahan nafsu makan, gangguan tidur, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri.
Dalam sesi diskusi, Dr. Lisetiawati mengingatkan bahwa bipolar bukanlah gangguan yang bisa sembuh hanya dengan satu kali kunjungan ke dokter. Terapi dengan obat-obatan, seperti mood stabilizer dan antidepresan, sangat diperlukan untuk mengontrol gejalanya. Selain itu, psikoterapi, seperti Mindfulness Based Cognitive Therapy (MBCT), Cognitive Behavioral Therapy (CBT), dan Dialectical Behavior Therapy (DBT), juga terbukti efektif. Terapi keluarga juga sangat penting untuk membantu pasien mengelola emosinya dan membangun pola pikir yang lebih sehat.
Dr. Lisetiawati juga menekankan pentingnya dukungan keluarga bagi penderita bipolar. Keluarga yang memberikan dukungan yang konsisten sangat membantu dalam menjaga kestabilan kondisi penderita.
“Support dari keluarga sangat penting untuk menjaga agar kondisi penderita tetap stabil,” ujarnya.
Melalui acara ini, Dr. Lisetiawati berharap masyarakat dapat lebih memahami bahwa gangguan bipolar bukanlah sekadar perubahan suasana hati biasa. Ini adalah kondisi serius yang membutuhkan perhatian dan penanganan yang tepat. Edukasi semacam ini diharapkan dapat mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap penderita, sehingga mereka merasa lebih diterima dan didukung dalam masyarakat.