Sindrom Down Pada Anak

Sindrom Down Pada Anak

Hari Down Syndrome Sedunia

Oleh : dr. Maria Galuh Kamenyangan Sari, SpA., MKes.

Sindrom Down merupakan suatu kelainan bawaan (genetik) yang cukup sering terjadi. WHO menyatakan ada sekitar 3000 hingga 5000 bayi terlahir dengan kondisi ini setiap tahunnya. Kasus Sindrom Down di Indonesia cenderung meningkat. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 pada anak 24 sampai 59 bulan mencapai 0.13 persen. Total bayi yang lahir dengan kecacatan lahir mencapai 0.41 persen pada tahun 2018 dan sejumlah 0.21% merupakan penyandang sindrom Down. Seorang anak dengan sindrom Down dapat lahir secara normal, cukup bulan dengan berat badan lahir cukup, namun akan mengalami keterlambatan tumbuh kembang dibandingkan dengan anak normal dengan usia sebayanya.

Sindrom ini pada mulanya dinyatakan pada tahun 1866 oleh seorang dokter berkebangsaan Inggris bernama John Langdown Down yang melakukan riset tentang sekelompok individu yang tinggal di Earlswood Asylum for Idiots di Surrey, Inggris di tempat dr. Down tersebut bertugas, anak dengan retardasi mental dan memiliki penampakan wajah yang khas dan mirip satu sama lain sebagai karakteristik fisik disabilitas intelektual. Awalnya sindrom ini disebut Sindrom Mongolia karena karakteristik gejala mirip dengan ras Mongolia namum karena dianggap rasis maka sejak tahun 1970 sebutan ini tidak digunakan lagi hingga kini.

Dasar biologis kelainan ini baru dapat diungkapkan tahun 1959 saat Jerome LeJeune menemukan bahwa semua individu dengan gambaran khas tersebut memiliki cetakan ketiga kromosom 21 sehingga individu tersebut memiliki 47 kromosom, maka sindrom ini juga dikenal dengan Trisomi 21 karena disebabkan oleh kelebihan jumlah kromosom 21 yang berjumlah 3, sementara pada orang normal berjumlah hanya dua saja.

Gambar 1. Kariotip Sindrom Down Klasik, wanita (47XX+21)

Sebagian besar kelainan ini dapat diturunkan (95%) maupun tidak diturunkan (5%). jadi ketika orang tua mendapatkan seorang bayi baru lahir dengan kumpulan gejala tersebut sebagian besar akan sulit menerima dan tentu akan bertanya mengapa dan apakah penyebabnya. Dengan penanganan yang tepat, penderita dapat hidup dengan sehat dan mampu menjalani aktivitas dengan mandiri, walaupun sebagian kelainan belum dapat disembuhkan.

Apa saja gejala sindrom Down?

Anak dengan sindrom Down memiliki kelainan bawaan multipel dan mengalami retardasi mental. Gejala fisik yang tampak yakni fitur wajah datar, leher pendek, mata kecil sipit dan sudut mata luar tertarik keatas, lidah besar dan menjulur, telinga kecil dan rendah, jari kaki dan tangan pendek, garis tangan tunggal dan lurus, serta perawakan pendek. Sebagian besar bayi penderita sindrom Down terlahir dengan kelainan jantung yang biasanya terjadi pada dinding jantung yang memisahkan empat ruangan jantung. Kondisi ini biasanya bisa ditangani apabila dideteksi sejak dini. Sindrom Down berkaitan dengan disabilitas intelektual. Derajat retardasi mental bervariasi, mulai dari retardasi mental ringan (IQ:50-70) hingga sedang (IQ:35-49), dan kadang (jarang) ditemukan retardasi mental berat (IQ: 20- 34). Rerata derajat retardasi mental pada anak sindrom Down adalah ringan dan sedang.

Apakah faktor risiko Sindrom Down?

Belum diketahui secara pasti penyebab kelainan kromosom pada sindrom Down. Beberapa literatur menyatakan faktor lingkungan, gangguan metabolisme, paparan sinar radiasi dapat menyebabkan kegagalan pembelahan sel yang berdampak kelebihan jumlah kromosom. Usia ibu yang lebih dari 35 tahun dinyatakan memounyai risiko tinggi terhadap kejadian sindrom Down, terlebih jika pernah melahirkan bayi sindrom Down sebelumnya dan jarak kehamilan yang semakin jauh. Maka bila pada usia tersebut seorang wanita mengandung, seyogyanya melakukan tes skrining untuk mengetahui kondisi janin yang dikandung secara berkala. Tes skrining ini dapat berupa pemeriksaan darah ibu maupun ultrasonography (USG) pada usia kehamilan trimester satu (< 12 minggu pertama).

Gambar 2. Prevalensi sindrom Down menurut usia ibu saat kehamilan

Bagaimana mendiagnosis sindrom Down?

Diagnosis Sindrom Down dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik (diagnosis klinis) dan pemeriksaan sitogenetika (pemeriksaan laboratorium dengan melihat kromosom) untuk memastikan jenisnya dengan pemeriksaan gold standard. Pentingnya pemeriksaan ini bukan untuk kesembuhan secara total, tetapi untuk menentukan jenis sindrom Down diturunkan atau tidak sehingga dapat dilakukan konseling genetika dan edukasi kepada orag tua mengenai risiko diturunkan atau tidak pada anak selanjutnya.

Bagaimana penatalaksanaan Sindrom Down?

Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan paling efektif dan spesifik untuk Sindrom Down. Deteksi dan intervensi sedini mungkin sangatlah diperlukan untuk mencapai tumbuh kembang optimal, baik kelainan fisik seperti kelainan jantung yang segera dapat ditangani dengan operasi misalnya, maupun disabilitas intelektual yang dapat dimaksimalkan dengan fisioterapi, terapi wicara dan okupasi.

Setiap penyandang sindrom Down mempunyai keterbelakangan yang berbeda skalanya, namun tidak menutup kemungkinan adanya kekuatan atau kelebihan bakat pada setiap individu. Anak Sindrom Down dapat melakukan kegiatan seperti anak lainnya meski tentunya lebih lambat daripada anak yang bukan penyandang Sindrom Down. Sindrom Down tidak bisa disembuhkan namun dengan dukungan dan perhatian maksimal anakanak Sd dapat tumbuh kembang dengan bahagia dan optimal dan mempunyai angka kelangsungan hidup yang panjang mencapai usia 47 tahun. Sudah banyak komunitas penyandang sindrom Down seperti Ikatan Sindrom Down Indonesia yang mempunyai visi untuk membangkitkan rasa percaya diri dengan mengenali potensi masing-masing.

Adanya dukungan keluarga, teman dan masyarakat sangat diperlukan terutama bagi perkembangan mental anak sindrom Down sehingga mendapatkan kemudahan dalam menggunakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan disabilitas intelektual maupun fisiknya. Perlu kerjasama yang baik dari berbagai pihak demi tercapainya kondisi kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan yang optimal pada anak dengan sindrom Down.

 

Sumber Pustaka:

  1. Kementrian Kesehatan RI, Laporan Riskesdas 2018.
  2. National Down Syndrome Society: https://www.ndss.org/about-down-syndrome/down-syndrome/
  3. Mai CT, Kucik JE, Isenburg J, Feldkamp ML, Marengo LK, Bugenske EM, Thorpe PG, Jackson JM, Correa A, Rickard R, Alverson CJ, Kirby RS; National Birth Defects Prevention Network. Selected birth defects data from population-based birth defects surveillance programs in the United States, 2006 to 2010: featuring trisomy conditions. Birth Defects Res A Clin Mol Teratol. 2013 Nov;97(11):709-25. doi: 10.1002/bdra.23198. PMID: 24265125; PMCID: PMC4636004.
  4. Presson AP, Partyka G, Jensen KM, Devine OJ, Rasmussen SA, McCabe LL, McCabe ER. Current estimate of Down Syndrome population prevalence in the United States. J Pediatr. 2013 Oct;163(4):1163-8. doi: 10.1016/j.jpeds.2013.06.013. Epub 2013 Jul 23. PMID: 23885965; PMCID: PMC4445685.
  5. Kucik JE, Shin M, Siffel C, Marengo L, Correa A; Congenital Anomaly Multistate Prevalence and Survival Collaborative. Trends in survival among children with Down syndrome in 10 regions of the United States. Pediatrics. 2013 Jan;131(1):e27-36. doi: 10.1542/peds.2012-1616. Epub 2012 Dec 17. PMID: 23248222; PMCID: PMC4547551.
  6. Kawanto FH, Soedjatmiko. 2007. Pemantauan Tumbuh Kembang Anak dengan Sindrom Down. Sari Pediatri; 9(3):185-190.